Batu Bara | Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap NA (18 tahun) di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, kembali menyoroti kelemahan penegakan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Meskipun korban telah melaporkan pelaku, AHA (34 tahun), ke pihak kepolisian, hingga kini belum ada tindakan penahanan.
Sebaliknya, AHA justru melaporkan orang tua korban atas tuduhan pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan balasan tersebut dinilai sebagai bentuk intimidasi hukum yang bertujuan menghalangi proses penyelidikan. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum yang adil, cepat, dan tidak memihak.
Kronologi Kasus:
- Laporan Awal: NA melaporkan AHA ke pihak berwenang atas dugaan kekerasan seksual.
- Kegagalan Penahanan: Hingga saat ini, AHA belum ditahan oleh pihak kepolisian.
- Laporan Balasan: AHA melaporkan ayah NA ke Polda Sumut atas tuduhan pencemaran nama baik (STTLP / B / 730 / V / 2025 / SPKT / Polda Sumut).
- Pernyataan Korban dan Keluarga: NA dan keluarganya menegaskan bahwa laporan mereka berdasarkan kejadian nyata, dan meminta proses hukum yang transparan serta perlindungan dari segala bentuk intimidasi.
Aspek Hukum:
- Kekerasan Seksual: Kasus ini berpotensi melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penegakan hukum harus dilakukan secara profesional berdasarkan bukti yang cukup.
- Pencemaran Nama Baik: Laporan balasan AHA akan diuji berdasarkan Pasal 310 KUHP dan/atau ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, jika pernyataan yang disampaikan oleh pihak korban terbukti benar dan dilakukan untuk kepentingan publik, hal tersebut dapat menjadi dasar pembelaan hukum.
Permasalahan dan Tantangan:
- Lambatnya Proses Hukum: Tidak adanya tindakan tegas terhadap terlapor menunjukkan potensi hambatan dalam penegakan hukum.
- Intimidasi Terhadap Korban: Laporan balik yang diajukan oleh terlapor dapat dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap korban dan keluarganya.
- Minimnya Perlindungan: Kasus ini menekankan pentingnya jaminan perlindungan maksimal terhadap korban kekerasan seksual agar mereka tidak takut untuk bersuara.
Kesimpulan: Kasus NA bukan hanya persoalan individu, tetapi cermin dari kondisi sistem hukum dalam menangani kekerasan seksual.
Proses hukum yang lambat serta intimidasi hukum terhadap keluarga korban menunjukkan perlunya perbaikan sistemik dalam mekanisme perlindungan korban dan penindakan terhadap pelaku.
Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan terhadap korban adalah kunci untuk memastikan keadilan benar-benar ditegakkan.
Kasus ini harus menjadi momentum untuk mendorong reformasi penegakan hukum di Indonesia. (TIM Media)